Sistem pembayaran QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) buatan Indonesia belakangan ini mendapat sorotan dari pemerintah Amerika Serikat. Masalah ini mencuat setelah muncul dalam laporan tahunan United States Trade Representative (USTR) yang membahas berbagai hambatan perdagangan global.
Apa yang Dipermasalahkan?
Pemerintah AS menganggap penerapan QRIS, bersama dengan kebijakan sistem pembayaran domestik lainnya seperti Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), bisa membatasi peluang perusahaan-perusahaan asing — khususnya Visa dan Mastercard — dalam mengakses pasar Indonesia. Menurut mereka, keharusan menggunakan sistem lokal bisa menjadi "non-tariff barrier" atau hambatan perdagangan non-tarif yang merugikan perusahaan Amerika.
Latar Belakang Ketegangan
Isu ini mencuat di tengah ketegangan dagang global yang melibatkan banyak negara, termasuk Indonesia. Meski Presiden Trump sendiri sudah tidak menjabat, laporan ini memperpanjang kritik terhadap negara-negara yang dianggap mempersulit ekspansi bisnis AS.
Jawaban dari Indonesia
Bank Indonesia (BI) cepat merespons tuduhan ini. Mereka menegaskan bahwa kebijakan sistem pembayaran nasional bertujuan untuk memperkuat kedaulatan ekonomi digital dalam negeri, bukan untuk membatasi pemain asing. Bahkan, BI menyatakan sistem seperti QRIS tetap terbuka untuk integrasi internasional, asal ada kesiapan dari kedua belah pihak.
Selain itu, BI juga menekankan bahwa Visa dan Mastercard hingga kini masih beroperasi bebas di Indonesia, membantah tuduhan bahwa akses perusahaan asing dibatasi.
Pertumbuhan QRIS di Dalam Negeri
Fakta di lapangan, penggunaan QRIS di Indonesia memang melesat. Sampai akhir 2024, ada lebih dari 53 juta pengguna dengan 34 juta merchant yang sebagian besar adalah UMKM. Nilai transaksinya pun mencapai ratusan triliun rupiah. Ke depan, BI bahkan berencana memperluas jaringan QRIS lintas negara, seperti ke Jepang, India, dan Uni Emirat Arab.
Kesimpulan
Ketegangan soal QRIS ini bukan sekadar soal pembayaran digital, tapi bagian dari dinamika besar soal kedaulatan ekonomi digital versus liberalisasi pasar global. Indonesia ingin membangun kekuatan ekonominya sendiri, sementara Amerika Serikat ingin menjaga akses global bagi perusahaan-perusahaannya.
Apakah ke depan akan ada kompromi? Kita lihat saja bagaimana negosiasi perdagangan berikutnya berjalan.